Jumat, 05 November 2010

Problematika etika dan bisnis

Dalam realitasnya, bisnis baik sebagai aktifitas maupun sebagai entitas, telah ada dalam system dan strukturnya yang ‘baku’. Bisnis berjalan sebagi proses yang telah menjadi kegiatan manusia sebagai individu atau masyarakat untuk mencari keuntungan dan memenuhi keinginan dan kebutuhan hidupnya. Sementara itu etika telah dipahami sebagai sebuah disiplin yang mandiri dan karenanya terpisah dari bisnis. Etika adalah ilmu yang berisi patokan-patokan mengenai apa-apa yang benar salah, yang baik atau buruk, yang bermanfaat atau tidak bermanfaat. Dalam kenyataan itu, bisnis dan etika dipahami sebagai dua hal yang terpisah bahkan tidak ada kaitannya, jika pun ada mala dipandang sebagai hubungan negative dimana, praktek bisnis merupaka kegiatan yang bertujuan mencapai laba sebesar-besarnya dalam situasi pesaing bebas. Sebliknya etika bila diterapakan dalam dunia bisnis dianggap akan mengganggu upaya mencapai tujuan bisnis. Dengan demikian hubungan antara etika dan bisnis telah melahirkan hubungan yang problematis.
Problematika ini bagi banyak pihak, termaksud para ahli ekonomi terletak pada adanya kesangsian mengenai ide etika bisnis. Pihak-pihak tersebut menyaksikan apakah moralitas mempunya tempat dalam kegiatan bisnis. Kegiatan bisnis atau sebuah perusahaan, dalam prilakunya tampak sudah demikain kuat terikat dengan struktur dan system yang kompleks. Dengan demikian secara potensial jauh dari persepsi kesadaran akan keterkaitannya dengan hakikat manusia sebagai prilaku yang merupakan bagian dari institusi-institusi perusahaan. Sebaliknya ia akan semakin kuat dipersepsi oleh kepentingannya dan akan semakin kuat pula dipengaruhi oleh keputusan keputusan dan tindakan perusahaan tersebut. Dari kesangsian-kesangsian itulah kemudian melahirkan mitos-mitos dalam hubungan etika dan bisnis. Mitos bisnis amoral, mitos bisnis immoral, mitos bisnis pengejar maksimalisasi keuntungan dan mitos bisnis sebagai permainan. Mitos amoral mengungkapkan suatu keyakinan bahwa bisnis adalah bisnis dan tidak dapat dicamputadukan dengan moralitas, antara bisnis dan moralitas tidak ada kaitan apa-apa dank arena itu merupaka kekeliruan kalau kegiatan bisnis dinilai dengan menggunakan tolak ukur moralitas.
Demikian juga bisnis immoral yang menganggap bahwa bisnis merupakan kegiatan tak terpuji dan karenanya perlu dihindari. Sementara itu mitos bisnis sebagai pengejar maksimalisasi keuntungan menganggap bisnis adalah kegiatan yang hanya berhubungan dengan keuntungan-keuntungan semata. Demikian pula mitos bisnis sebagai permainan menganggap bisnis sebagai arena kompetisi tertutup yang menghasilkan atau suatu permainan judi dimana kemenangan menjadi tujuan utama.
Menurut Z.Carr bisnis mempunyai ciri-ciri yang bersifat impersonal dan menyerupai permainan yang menghendaki suatu strategi dan pemahaman tentang suatu etika khusus yang diterima secara teima secara bersama oleh semua pelaku permaina dan tidak selainnya. Pada pokoknya bisnis seperti permainan poker yang menghendaki sikap tidak percaya kepada orang diantara para pemainnya. Mengelabui secara cerdik atau menyembunyika kekuatan sendiri untuk maksud sebenarnya adalah dibolehkan. Pemain poker harus mengandalkan nilai persahabatan dan ketulusan.
Karena pandangan-pandangan itulah maka antara bisnis dan etika dianggap dua bidang garapan yang berbeda. Beberapa nilai moral yang sejalan etika bisnis seperti toleransi, kesetiaan, kepercayaan, persamaam. Religiusitas dipandang sebagai nilai-nilai yang dipandang lebih sejalan dengan prinsip-prinsip bisnis seperti, maksimalisasi laba, agresivitas, individualitas, semangat persaingan, manajemen konflik, merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh manajer-manajer sukses. Kondisi inilah yang memunculkan citra buruk terhadap bisnis dan dianggap sebagai ‘dunia hitam atau kotor’, baik di barat maupun di dunia timur. Adanya sikap sinis terhadap bisnis demikian dikarenakan anggapan bahwa pada dasarnya bisnis itu berasal ketamakan dan keserakahan. Bisnis semata-mata berpedoman kepada pencarian laba. Ketika seorang pelaku bisnis menyatakan bisnisnya demi kepentingan umum, hal itu sebenarnya hanyalah siasat palsu untuk mendapatkan simpati masyarakat dan akan mendatangkan keuntungan yang lebih besar. Bisnis pada dasarnya bersifat material dan bertentangan pada aspek spiritual atau hal-hal yang baik dalam kehidupan.
Sayangnya menurut pendapat orang-orang, pandangan-pandangan seperti diatas telah tersebar dan dipercaya secara luas oleh para pelaku bisnis dan masyarakat, sehingga karena anggapan ini secara tidak langsung telah memunculkan berbagai skandal moral yang mrugikan masyarakat. Dengan demikian hal ini telah menjadi persoalan etika yang serius.
Meskipun kemudian muncul kesadaran bahwa pemisahan bisnis dan etika tidak realistis, karena telah banyak menimbulkan kerugian-kerugian namun adanya mitos yang sudah trlanur merajalela dan mau ditangani dengan cara menggabungkan etika dengan bisnis atau sbaliknya, hal ini menimbulkan persoalan baru dari aspek metodologis.
Penggabungan etika dan bisnis atau sebaliknya dapat berari memaksakan norma-norma agama bagi dunia bisnis, memasang kode etik profesi bisnis, mrefisi system dan hokum ekonomi, meningkatkan ketrampilan memanajemeni tntutan-tuntutan etika pihak-pihak luar untuk mencari aman dan sebaliknya. Dengan demikian eika seolah-olah diperlakuka sebagai disiplin terpisah dan mau diterapkan pada dunia bisnis atau mau dikembangkan dengan cara memasuki telaah masalah-masalah moral dalam dunia bisnis. Pemahaman demikian pada gilirannya akan memunculkan berbagi cabang etika menjadi etika ekonomi, etika bisnis, etika manajemen, etika perankan dan lain-lain.

Sumber
Drs.Muhammad,M.Ag dan R.Lukman Fauroni,M.Ag , visi al-quran tentang etika dan bisnis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar